BUBBLE PROPERTY ?
By DAVID SUMUAL
“Beli Hari Ini, Besok Harga Naik. “Investasi Sekarang, Balik
Modal dalam 3 Bulan.” “Jangan Tunggu Lagi, Pasti Untung 130% dalam 6 Bulan”.
Iklan-iklan seperti ini kian menjamur kita temukan di berbagai sudut jalan
sampai ke pelosok ibukota. Selain kota-kota besar di Jawa, iklan-iklan ini juga
banyak kita jumpai di kota-kota luar Jawa, kendati dengan nada promosi yang
lebih rasional.
Dari cara mempromosikan produk-produk properti di atas, jelas
properti lebih dipersepsikan sebagai instrumen investasi dibanding barang
konsumsi. Padahal, properti sebenarnya baru layak dikatakan sebagai instrumen investasi
jika kita menyewakannya untuk mendapatkan uang rental.
Tak heran cara promosi seperti ini sangat berperan dalam
mendorong aliran likuiditas (terutama dari kelas menengah-atas) ke
produk-produk properti sehingga harganya pun cenderung melonjak belakangan ini.
Apalagi produk deposito sudah tak begitu menarik, dengan suku bunga sedemikian
rendahnya antara 3-6%, lebih rendah dari inflasi (negative real interest rate). Alhasil,
banyak yang mengalihkan investasinya ke aset properti dengan harapan mendapatkan
imbal hasil rental yang sekitar 5-10% per tahun ditambah ekspektasi capital
gain (selisih harga
beli dibanding harga jual).
Kenaikan harga properti yang cukup signifikan di sejumlah kota
besar akhir-akhir ini terekam dari survei-survei yang dilakukan Bank Indonesia
(BI), World Bank dan sejumlah konsultan properti.
Survei properti BI di 14 kota besar di Indonesia menunjukkan kenaikan harga
rumah rata-rata sebesar 11,2% YoY pada Q1-2013, dengan kenaikan tertinggi
terjadi di Surabaya. Meski harga naik, permintaan tampaknya masih kencang,
terutama di segmen menengah-atas. Menurut BI, penjualan rumah kelas menengah
melonjak 33,6% YoY pada Q1-2013, terutama di daerah Jabodetabek.
Konsultan properti, Cushman & Wakefield bahkan dalam risetnya menyatakan harga
rumah di Jakarta sudah naik sekitar 100 persen dalam tiga tahun terakhir.
Bandingkan dengan tingkat inflasi Jakarta yang pada periode yang sama hanya
16,3%. Kondisi ini membuktikan bahwa Indonesia, khususnya Jakarta merupakan
salah satu lokasi investasi properti paling menarik di Emerging
Market.
Signifikan pengaruhi
ekonomi
Di tengah perlambatan ekonomi global, sektor properti memang
cukup berperan dalam menyangga ekonomi RI, paling tidak dalam empat tahun
terakhir. Kuatnya geliat sektor konstruksi yang tumbuh antara 6,6-7,5%, diikuti
oleh laju sektor konsumsi yang tumbuh 5-5,3% dalam empat tahun terakhir cukup
signifikan berkontribusi pada pertumbuhan sehingga ekonomi RI masih bisa melaju
di atas 6%.
Studi di beberapa negara menunjukkan sektor properti memiliki
kaitan erat (backward
& forward linkage) dengan sekitar 240-270 industri, sub
industri dan jasa (tergantung tingkatan ekonomi negara tersebut). Selain sektor
konstruksi, sektor properti secara langsung dan tak langsung terkait dengan
banyak sektor lain, mulai dari produk semen, kayu, kabel, pipa, keramik, furniture,
jasa arsitek, jasa interior, sampai jasa keuangan canggih seperti hedge
fund dan produk
derivatif. Beragamnya linkage tersebut menyebabkan siklus properti
akan sangat signifikan mempengaruhi pertumbuhan dan keberlangsungan ekonomi
suatu negara, termasuk negara berkembang seperti Indonesia.
Bagi Indonesia, dampak pertumbuhan sektor properti jelas
terefleksi dari kontribusi sektor konstruksi terhadap agregat ekonomi RI yang
terus meningkat dalam empat tahun terakhir. Pengaruhnya terhadap penyerapan
tenaga kerja juga cukup signifikan. Sekurangnya 6% dari total tenaga kerja
terserap langsung oleh sektor konstruksi dan tambahan sekitar 4% dari total
tenaga kerja terserap oleh sektor-sektor lain yang terkait properti
Kontribusi sektor konstruksi ini baru merepresentasikan
gelombang pertama dari dampak siklus pertumbuhan properti terhadap pertumbuhan
ekonomi. Setelah itu, sektor properti bisa pula memicu gelombang kedua yang
lebih didorong oleh dampak tak langsung dari pertumbuhan konsumsi.
Pengalaman di berbagai negara menunjukkan bahwa kenaikan harga
rumah berkorelasi positif dengan pertumbuhan tingkat konsumsi (wealth effect). Jika
harga rumah naik, pemilik akan merasa lebih kaya dan konsekuensinya mendorong
kenaikan konsumsi. Kenaikan konsumsi juga bisa terjadi sebagai konsekuensi dari
penarikan kredit refinancing (collateral
effect) yang kemudian dibelanjakan untuk keperluan konsumsi. Dengan
kata lain, aset properti dalam hal ini sudah dijadikan semacam mesin ATM untuk
keperluan konsumsi rumah tangga.
Untuk Indonesia sendiri, pertumbuhan konsumsi via laju penarikan
kredit refinancing (mortgage equity withdrawal) tampaknya masih
relatif terbatas. Jika gelombang kedua ini mulai merebak, dampaknya terhadap
pertumbuhan ekonomi tampaknya akan cukup lumayan, mengingat sektor konsumsi
berkontribusi sekitar 60% dari total output ekonomi RI. Namun perlu diwaspadai
jika porsi penarikan kredit refinancing ini kian membesar, karena ini juga
merupakan pertanda makin tingginya unsur spekulasi dibandingkan kebutuhan
properti yang riil.
Pertanyaannya sekarang, apakah kenaikan harga properti
akhir-akhir ini di Indonesia sudah mencerminkan tingginya unsur spekulasi yang
ujung-ujungnya bisa memicu gelembung properti (property bubble), yang siap pecah
sewaktu-waktu ?
Memahami siklus bisnis
Dalam siklus ekonomi, ketika pertumbuhan jumlah uang beredar
melebihi pertumbuhan PDB (produk domestik bruto), kelebihan likuiditas akan
mengalir ke sektor-sektor yang dianggap menguntungkan. Kondisi ini akan memicu
gelembung-gelembung. Gelembung tersebut bisa tercipta di sektor properti,
saham, mata uang, komoditas, obligasi atau aset-aset lainnya. Ini menciptakan
ilusi kesejahteraan (wealth
illusion) di suatu sektor akibat pengalihan sumber daya ke sektor
yang dianggap menarik tersebut.
Bila aliran likuiditas atau kredit berlebihan (excessive lending) ke
suatu sektor terus berlangsung, sementara sektor bisnis produktif lainnya
relatif stagnan, risiko terjadinya krisis ekonomi sistemik sebenarnya sedang
meningkat. Kenaikan harga yang terjadi pada sektor tersebut lebih disebabkan
oleh ekspektasi terhadap capital gain di masa depan dan bukan karena
kenaikan kapasitas atau pendapatan berulang (recurring
income) dari aset tersebut. Fenomena ini sering disebut juga
sebagai greater fool theory.
Pada akhirnya, pasar pun akan mengoreksi ekses ini dan gelembung harga pun
meletus sehingga menimbulkan kebangkrutan ekonomi dan kredit macet karena nilai
utang sudah lebih tinggi dari nilai asetnya (negative
equity).
Pemicu meletusnya gelembung tersebut bisa bermacam-macam, baik
dari sisi domestik maupun eksternal. Pemicu dari sisi domestik bisa berupa
persoalan mikro seperti bubble properti, saham, obligasi,mismanagement suatu konglomerasi atau persoalan
fundamental makro seperti ketidakseimbangan neraca berjalan, tingginya inflasi,
defisit fiskal, atau tumpukan utang luar negeri. Pemicu domestik ini bisa
secara simultan dipengaruhi oleh kondisi eksternal seperti resesi di
negara-negara maju, krisis keuangan di negara tetangga atau perubahan mendadak arah
kebijakan moneter bank sentral negara maju.
Agar lebih jelas, tren perkembangan moneter global terkini bisa
dijadikan sebagai ilustrasi. Belakangan ini, negara-negara maju sangat agresif
melakukan kebijakan moneter longgar. Kebijakan ini sebenarnya dapat memberi
efek samping dan risiko tersendiri bagi negara-negara emerging
markets, termasuk Indonesia yang menjadi salah satu sasaran ekses
likuiditas tersebut.
Limpahan likuiditas ini jika tak terkelola dengan baik dapat
mendorong misalokasi sumber daya. Kelas-kelas aset tertentu seperti komoditas,
saham, termasuk properti bisa mengalami gelembung harga. Hal ini tentunya dapat
membahayakan fundamental ekonomi negara-negara bersangkutan dan berisiko
meningkatkan risiko sistemik.
Kondisi ini sebenarnya pernah terjadi dua dekade yang lalu
sebelum krisis ekonomi Asia 1998. Setelah gelembung harga properti di Jepang
pecah, suku bunga kebijakan bank sentral Jepang terus diturunkan dari 6% di
1990 menjadi 1,75% pada 1992-1994. Pada periode yang sama FED juga menerapkan
kebijakan suku bunga rendah di kisaran 3%.
Rendahnya suku bunga valas ini dimanfaatkan negara-negara emerging
markets dengan
menumpuk utang luar negeri. Kebijakan easy money policy di negara-negara maju ini juga
mendorong ekspansi kredit besar-besaran di negara-negara macan Asia dan memicu booming di pasar properti. Ujung-ujungnya,
pasar properti di Thailand pun mengalami crash pada pertengahan 1997 dan dampaknya
pun menyebar via transmisi pasar finansial ke negara-negara Asia lainnya.
Menerawang bubble properti
Indonesia sendiri sebenarnya belum pernah mengalami krisis
ekonomi yang disebabkan pecahnya gelembung properti. Berbeda dengan AS, Jepang
atau Irlandia yang mengalami resesi karena pecahnya gelembung properti, krisis
ekonomi tahun 1998 sebenarnya lebih dipicu oleh faktor eksternal berupa
runtuhnya pasar properti Thailand yang diikuti krisis mata uang Baht dan mata uang regional lainnya seperti Ringgit dan Won. Krisis mata uang
regional ini akhirnya berdampak pada anjloknya Rupiah dan kemudian memukul
sektor-sektor ekonomi lain yang fundamentalnya lemah, termasuk sektor perbankan
dan properti.
Setelah cenderung stagnan sekitar 7 tahun sejak krisis 1998,
harga properti sempat beringsut naik pasca kenaikan harga BBM pada tahun 2005.
Pemulihan harga terutama dipicu oleh bergairahnya pasar komoditas dan kuatnya
pertumbuhan ekonomi global. Kemudian, hantaman krisis global dan kenaikan harga
BBM tahun 2008 kembali menahan laju kenaikan harga. Namun, memasuki periode
2009 – awal 2013, harga properti kembali melonjak seiring stabilitas ekonomi
domestik dan relatif rendahnya suku bunga. Dengan kata lain, harga mulai
mengalami normalisasi, setelah hampir satu dekade cenderung stagnan, bahkan
pernah di beberapa tahun tertentu tercatat lebih rendah dari inflasi.
Kendati melonjak cukup tinggi dalam tiga tahun terakhir, ada
sejumlah argumen yang bisa menjelaskan mengapa sektor properti tampaknya belum
mengalami bubble. Memang, harga di
sejumlah segmen atau lokasi tertentu sudah naik cukup tinggi (pocket bubble).
Terbatasnya pasokan dan di sisi lain tingginya permintaan akibat pent-up
demand (permintaan
yang sempat tertahan sejak krisis global 2008), serta relatif rendahnya suku bunga
menjadi faktor pendorong terdongkraknya harga properti secara signifikan.
Harga properti khususnya di Jakarta secara umum masih relatif di
bawah harga rata-rata properti di kawasan ASEAN seperti di Bangkok, Kuala
Lumpur, Manila, apalagi Singapura. Sebagai gambaran, rasio harga apartemen di
kawasan segitiga emas terhadap rental (price
to rent) di Jakarta relatif masih lebih rendah (data Global
Property Guide -
2012). Titik impas di investasi apartemen di Jakarta menurut data tersebut
tercatat selama 11 tahun, jauh lebih cepat dibanding Manila (14 tahun), Bangkok
(16 tahun), Kuala Lumpur (21 tahun) atau Singapura (34 tahun).
Tingginya permintaan properti tampaknya juga sejalan dengan
pertumbuhan rumah tangga baru. Dengan laju pertumbuhan penduduk seperti saat
ini, Indonesia diperkirakan membutuhkan sekitar 1,5 juta tambahan unit rumah
baru tiap tahunnya. Redupnya gerakan keluarga berencana pasca krisis 1998 yang
pada gilirannya mendorong terjadi baby boom dalam satu dekade terakhir tampaknya
menjadi berkah tersembunyi (blessing
in disguise) bagi sektor properti.
Dari segi daya beli (affordability
ratio), harga rata-rata rumah kelas menengah tampaknya masih dalam
rentang kemampuan beli masyarakat, karena daya beli masyarakat, terutama di
kelas menengah-atas dalam empat tahun terakhir secara rata-rata pun mengalami
perbaikan pesat (PDB nominal naik signifikan sekitar 11-16% per tahun). Kuatnya
daya beli ini tercermin dari cara pembelian yang mayoritas masih menggunakan
cara tunai keras dan tunai bertahap. Cara pembayaran tunai ini sejalan dengan
masih minimnya aktifitas house flipping (membeli properti untuk kemudian
menjualnya kembali dalam waktu kurang dari 6 bulan) demi tujuan spekulasi.
Kendati rasio affordability (harga median rumah kelas menengah
terhadap penghasilan rata-rata tahunan rumah tangga) sedikit meningkat dalam
tiga tahun terakhir ini, rasionya masih berada di level 12 kali pada tahun
2012. Rasio ini jauh lebih rendah dibandingkan Singapura (18 kali), Thailand
(24 kali) atau Shanghai (42 kali) – Global Property Guide.
Selain menurunkan suku bunga, banyak bank yang sejak tahun 2008
mulai menawarkan masa cicilan kredit pemilikan rumah (KPR) yang lebih lama.
Dari sebelumnya hanya 10 tahun, konsumen sekarang bisa mencicil hingga 20
tahun. Perpanjangan masa cicilan ini otomatis menaikkan kemampuan membeli rumah
nasabah sampai 3 kali lipat. Sebagai catatan, mayoritas perbankan di dunia
seperti di Jepang dan AS sudah menawarkan KPR dengan masa cicilan hingga 30-40
tahun, bahkan di beberapa negara negara di Eropa (misal: Spanyol, Inggris dan
Italia) menawarkan masa cicilan hingga 50 tahun.
Selain komponen valuasi harga di atas, probabilitas terjadinya bubble di sektor properti bisa pula
diestimasi dengan menggunakan indikator pembayaran cicilan kredit nasabah
dibanding pendapatan (leverage).
Komponen leverage ini mengindikasikan seberapa besar
porsi utang digunakan dalam pembelian properti yang juga merupakan cerminan
dari porsi akumulasi kredit properti oleh perbankan.
Rasio leverage akan meningkat jika pemilik properti
terus menambah jumlah propertinya dengan menggunakan properti yang dimiliki
sebelumnya sebagai kolateral. Jika rasionya sudah terlampau tinggi, pemilik
properti akan kian tergantung pada kenaikan harga propertinya untuk membayar
cicilan utangnya.
Untuk kasus Indonesia, tingkat leverage seperti tercermin dari rasio kredit
properti (termasuk kredit konstruksi, real estate, KPR dan KPA) terhadap total
kredit maupun pendapatan nasional relatif masih rendah. Porsi kredit properti
terhadap total kredit nasional hanya naik tipis dari 13,5% di 2010 menjadi
13,6% pada 2012. Rasio ini masih jauh lebih rendah dari porsi kredit properti
terhadap total kredit sebelum krisis yang sempat mencapai 20% pada tahun 1995
dan 17% pada tahun 1997.
Tingkat leverage kredit properti terhadap PDB secara
komparatif juga masih cukup aman. Memang, rasio kredit properti terhadap PDB
terus meningkat dalam tiga tahun terakhir, naik dari 3,7% (2010) menjadi 4.0%
(2011) dan 4,5% (2012). Namun, rasio ini masih lebih rendah dari rasio kredit
properti terhadap PDB yang pernah mencapai 11% pada tahun 1997, setahun sebelum
krisis ekonomi Asia terjadi. Rasio ini juga jauh lebih rendah dibanding
negara-negara lain seperti Malaysia (31%), Amerika Serikat (22%), Singapura
(36%) atau Hong Kong (42%).
Namun perlu dicatat, ukuran-ukuran di atas hanya merupakan
generalisasi secara nasional. Rasioaffordability atau tingkat leverage di beberapa kota-kota besar tertentu
mungkin belum mencerminkan kondisi bubble, tapi di beberapa
wilayah lain, rasionya mungkin sudah cukup mengkhawatirkan. Variasi ini
terutama disebabkan oleh perbedaan harga tanah. Seperti pengalaman di AS dan
Jepang, kantung-kantung bubble ini secara agregat pada satu titik
bisa saja memicu bubble properti secara nasional.
Satu hal lagi, tak seperti di negara-negara maju, produk-produk
finansial atau rekayasa finansial terkait sektor properti belum banyak
berkembang di Indonesia. Kita tak memiliki produk-produk kredit subprime(kelayakan
kredit dari calon debitur kurang dari cukup) dan persayaratan KPR pun sangat
ketat. Contoh, debitur yang tak memiliki pendapatan atau pekerjan (no job no income/ninja)
tak bisa beroleh KPR di Indonesia.
Kita juga tak memiliki produk-produk eksotik seperti KPR dengan
cicilan 50-100 tahun, KPR tanpa uang muka atau KPR yang mengangsur bunga saja (interest only mortgage).
Sekuritisasi atau produk-produk derivatif (efek beragun aset KPR) belum banyak
berkembang. Selain itu, kepemilikan asing di sektor properti juga masih
dibatasi oleh pemerintah.
Penyaluran KPR via industri multifinance yang persyaratannya lebih fleksibel
juga masih sangat terbatas. Realisasi pembiayaan KPR oleh multifinance pada tahun 2012 tercatat hanya Rp10
milyar dari PT Sarana MultiGriya Finansial. Dengan hadirnya Otoritas Jasa
Keuangan, pengawasan penyaluran KPR viamultifinance diharapkan akan lebih baik. Kita
tentunya tidak ingin kasus Countrywide, perusahaan
multifinance spesialis KPR di AS yang bangkrut akibat krisis subprime terjadi di Indonesia.
Kebijakan countercyclical diperlukan
Dalam jangka menengah, Indonesia sebagai salah satu emerging
markets tampaknya
masih akan menjadi incaran investor mancanegara di tengah masih lesunya
perekonomian di negara-negara maju. Pembangunan sektor infrastruktur dan
manufaktur diharapkan akan terus bergerak. Kondisi ini tentunya akan memicu
kenaikan pendapatan pekerja dan turunnya angka pengangguran nasional. Perbaikan
daya beli dan kondisi ketenagakerjaan ini tentu akan berdampak positif pula
bagi sektor properti.
Untuk menjamin agar siklus properti berlangsung mulus dan tak
memicu terjadinya bubble otoritas bisa melakukan kebijakan countercyclical yang disesuaikan dengan kondisi
lapangan. Pemerintah, contohnya bisa mengenakan kebijakan pajak untuk
properti segmen tertentu yang sudah ada kecenderunganbubble.
Kebijakan countercyclical dari otoritas moneter seperti
ketentuan Bank Indonesia (BI) tentang minimum uang muka (loan to value/LTV
sebesar 70% untuk KPR, luas tanah di atas 70 m2) terbukti cukup efektif
mengerem laju kredit properti. Setelah dikeluarkannya kebijakan tersebut, tren
kredit properti cenderung melambat dalam tiga kuartal terakhir. Kredit properti
pada Q1-2013 hanya tumbuh 20% menjadi Rp384 triliun, melambat signifikan dari
pertumbuhan Q2-2012 yang mencapai 35%.
Belakangan, ada wacana BI juga akan menerapkan LTV berdasarkan
wilayah, harga properti, kepemilikan kedua, ketiga dst maupun LTV untuk segmen
tertentu. Pengetahuan akan kondisi lapangan menjadi penting di sini agar peluru
kebijakan lebih terarah dan tidak salah sasaran.
Contohnya, dalam rangka mencegah bubble,
kebijakan LTV untuk rumah kedua, ketiga dst sebenarnya akan lebih efektif
dibandingkan kebijakan LTV untuk rumah pertama. First
time buyer secara
psikologis akan sekuat tenaga untuk tidak mengemplang kredit, karena rumah itu
adalah satu-satunya rumah tinggal yang dimilikinya. Berbeda dengan pembelian
rumah kedua, ketiga dst-nya yang lebih menjadikan rumah sebagai instrumen
investasi atau spekulasi yang ujung-ujungnya dapat mendorong terjadinyabubble.
Akhir kata, kita juga berharap pemerintah dan DPR dapat segera
bersepakat soal kebijakan penaikan harga BBM. Penaikan harga BBM diharapkan
dapat berfungsi sebagai penahan laju pertumbuhan sektor properti (incidental hiccup).
Secara otomatis, kebijakan penaikan harga BBM diharapkan akan memberikan
sedikit kerikil bagi roda pertumbuhan, terutama sejumlah sektor yang sudah
tumbuh sangat kencang dan mulai menunjukkan kecenderungan bubble.
Selain sektor otomotif, sektor properti terbukti mengalami sedikit penurunan
laju pertumbuhan pasca kenaikan harga BBM pada tahun 2005 dan 2008.